Jumat, 18 November 2011

Perdagangan Emisi Dalam Kerangka Protokol Kyoto


       
Perdagangan emisi dalam kerangka Protokol Kyoto merupakan kasus yang sedang berkembang secara internasional. Protokol Kyoto merupakan persetujuan pelaksanaan Kerangka Konvensi Perubahan Iklim (KKPI) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan menggunakan mekanisme lentur (flexible mechanisms) perdagangan reduksi emisi. KKPI dihasilkan di KTT Bumi di Rio dalam tahun 1992. Dalam Protokol Kyoto yang disetujui dalam tahun 1997 dinyatakan bahwa negara Annex I, yaitu negara maju, dalam tahun komitmen 2008 sampai 2012 akan mengurangi emisinya dengan minimal 5% di bawah emisi 1990. Reduksi emisi ini dapat dilakukan dengan berpatungan (jointly), yaitu sebuah negara yang dapat mereduksi emisinya lebih daripada yang disetujui dapat memberikan kelebihan itu kepada negara lain dengan biaya tertentu. Tumbuhlah perdagangan reduksi emisi.  Emisi yang diperdagangkan ialah gas rumah kaca (GRK) yang tertera dalam Lampiran A Protokol Kyoto, yaitu karbondioksida (CO2), metan (CH4), nitrous okside (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC) dan sulfurhexafluorida (SF6). Karena karbondioksida (CO2) merupakan GRK terpenting, dalam percaturan internasional semua GRK dinyatakan dalam ekivalen karbon atau CO2. Karena itu perdagangan emisi disebut juga perdangan karbon. Mekanisme perdagangan bersifat lentur (flexible) sehingga sifatnya adalah Atur-Diri-Sendiri (ADS). Yang ditentukan ialah sasaran reduksi, yaitu 5% di bawah emisi tahun 1990 dan reduksi itu dapat diverifikasi.  Ketiganya terbuka untuk badan pemerintah maupun swasta.
Bagi negara sedang berkembang, seperti Indonesia, yang penting ialah Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau Clean Development Mechanism (CDM) yang khusus mengatur perdagangan dengan negara sedang berkembang (negara non-Annex I). MPB pada satu pihak bertujuan untuk membantu negara sedang berkembang untuk memberi kontribusi pada tercapainya stabilisasi kadar GRK dalam atmosfer. Bantuan itu berupa pemindahan teknologi dan dana dari negara maju ke negara sedang berkembang untuk melakukan pembangunan berkelanjutan. Pada lain pihak MPB juga untuk membantu negara Annex I untuk memenuhi kewajiban mereka dalam mereduksi emisi GRK mereka. Dengan demikian MPB tidak menghambat usaha pembangunan negara non-Annex I, melainkan justru dapat membantu.
Yang dianggap sebagai reduksi emisi adalah reduksi emisi yang melebihi pengurangan emisi yang akan terjadi tanpa adanya kegiatan proyek yang disertifikasi (reductions in emissions that are additional to any that would occur in the absence of the certified project activity). Istilah teknisnya ialah addionality. Perdebatan masih berlangsung tentang interpretasi dan cara menghitung additionality tersebut. Masing-masing pihak berusaha untuk mendapatkan keuntungan.
Persetujuan juga menyangkut pengurangan kadar GRK dengan memperbesar kemampuan rosot (sink). Misalnya, rehabilitasi hutan dan reboasasi memperbesar penyerapan CO2 dari udara sehingga kadarnya dalam atmosfer turun. Secara umum proyek ini disebut tataguna lahan, perubahan tataguna lahan dan hutan (TLPTLH) atau landuse, landuse change and forestry (LULUCF). Keuntungan proyek TLPTLH sebagai proyek MPB ialah bahwa proyek itu sekaligus mempunyai efek perbaikan pencagaran (konservasi) keanekaragaman hayati. Jelas kita sangat berkepentingan dengan aspek ini.
Pada ketiga mekanisme Protokol Kyoto yang diperdagangkan ialah yang disebut Reduksi Emisi yang ber-Sertifikat (RES) atau certified emission reduction (CER). Jadi sebelum dapat dijual kredit reduksi emisi itu harus diverifikasi dulu kebenarannya. RES adalah kredit reduksi emisi yang telah diverifikasi. Verifikasi itu bertujuan untuk menghindari penipuan. Verifikasi dilakukan oleh badan yang diakreditasi oleh sebuah supervisory executive board yang akan dibentuk.
Dalam konteks otonomi daerah, Protokol Kyoto memberi kesempatan untuk meningkatkan PAD. Betapa besarnya potensi MPB dapat terlihat, antara lain, dari sebuah laporan studi strategi nasional implementasi MPB di Kolombia. Studi itu meliputi 28 jenis proyek dan menemukan bahwa nilai RES maksimum adalah US$19/tCO2 dan nilai yang paling mungkin (most probable) adalah US$9,8/tCO2. Dengan asumsi adanya kondisi pasar yang optimal, seperti informasi yang sempurna, risiko rendah, pasar modal yang efisien dan institusi yang berfungsi baik, potensi teknis reduksi emisi adalah 42 Mt CO2 ekivalen per tahun (dihitung untuk tahun 2010). Dengan memperhatikan  kendala yang dapat menurunkan potensi teknis reduksi emisi, nilai RES diperkirakan hanya 22,9 Mt CO2 ekivalen. Berdasarkan angka ini nilai RES tersebut adalah hampir US$225 juta, setara dengan ekspor utama mereka yang berupa pisang dan bunga.
RES merupakan sumber devisa yang potensial untuk menambah PAD tanpa merusak lingkungan hidup, bahkan mendukung pembangunan berkelanjutan. Beberapa contoh potensi untuk mendapatkan RES ialah:
·        Rehabilitasi hutan dan reboasasi lahan kritis;
·        Mengurangi emisi CO2 dari sistem transpor dan industri dengan penerapan eko-efisensi;
·        Mengurangi emisi CO2 dengan  mengembangkan energi terperbarukan biomassa, surya (photovoltaic) dan angin;
·        Mengurangi emisi metan dengan mengurangi penanaman dan konsumsi beras melalui penganekaragaman pangan sehingga luas sawah sebagai penghasil metan berkurang;
·        Mengurangi emisi metan dengan memperbaiki pengelolaan peternakan sapi.
·        Mengurangi emisi metan dari tempat pembuangan akhir sampah (TPA).
·        Industri dengan melakukan usaha penghematan energi dengan eko-efisiensi. 
Perdagangan reduksi emisi hanyalah mungkin, apabila biaya reduksi emisi di suatu tempat lebih rendah daripada di tempat lain. Di sini nampak adanya unsur persaingan dagang. Karena itu untuk mendapatkan RES perlu bekerja keras karena harus bersaing dengan banyak negara, misalnya melalui tender. Belanda, misalnya, telah membuka tender internasional pada tahun 2001 yang meliputi co-generation, energi angin, energi PLTA, biomassa, reforestasi dan ekstraksi gas metan dari tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Tender  kedua mencakup juga MPB. Bagian pertama tender ini telah diumumkan pada bulan Oktober 2001 dan ditutup pada 31 Januari. Bagian kedua akan ditutup pada tanggal 4 Maret 2002 (JIQ, Dec. 2001). Keikutsertaan Pemda DIY dalam  tender akan dipermudah jika ada MOU RI dengan pemerintah Belanda tentang implementasi Protokol Kyoto pada umumnya dan MPB apada khususnya. Karena itu seyogyanya Pemda DIY mendesak pemerintah pusat untuk mengadakan MOU dengan pemerintah Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadikan sadar dan menajamkan kepekaan sewaktu mendesain agar selalu memperhatikan serta ikut melestarikan lingkungan secara berkelanjutan dalam menghadapi globalisasi.