1. Kenyamanan Fisiologis
Kenyamanan fisiologis biasanya berawal dari kepadatan penghuni di dalam bangunan interior dan tuntutan keperluan ruang dengan kemampuan terbatas menimbulkan permasalahan dalam eko-interior. Adanya tuntutan keperluan kualitas lingkungan interior mengakibakan terjadinya penambahan ruang yang tidak terencana, penyelesaian akhir atau finishing interior yang kurang baik, sistem pembuangan limbah atau sanitasi yang kurang baik, sirkulasi udara terhambat, kecepatan angin berkurang, kelembaban dan suhu ruangan semakin tinggi. Kondisi ini memperlambat fase perubahan temperatur, karena temperatur udara dan kelembaban udara adalah faktor dominan yang mempengaruhi kenyamanan penghuni, maka kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap gairah kerja penghuni. Kerja dalam konteks ini, menurut Parkinson (1987) adalah mata rantai penghubung antara individu dan komunitasnya.
Gerak lancar udara (cross ventilation) mengurangi kelembaban dan suhu udara dalam ruangan. Suhu ruangan yang ideal adalah antara 200 s.d. 250 C, kelembaban udara antara 40% s.d. 50%. Gerak udara yang sedang antara 5 s.d 20 M/Detik atau volume pertukaran udara bersih antara 2- s.d. 30 CFM (Cubic Fip per Minute) untuk setiap orang yang berada di setiap ruangan (Ircham, 1992). Ukuran rasa nyaman ini bersifat subyektif, apabila ventilasi alamiah dalam ruangan kurang memenuhi syarat sehingga menyebabkan ruangan pengab (stuffiness) yang sering dipergunakan bantuan alat mekanis seperti AC yang tidak ramah lingkungan.
Kenyamanan (comfort) penghuni bangunan interior dalam melakukan segala aktivitas dinyatakan dengan ‘efisiensi kerja terganggu’, keletihan yang berlarut, timbulnya rasa malas dan depresi, tidur tidak nyenyak (Konigsberger, 1973). Faktor kenyamanan yang berpengaruh tehadap gairah kerja, selanjutnya akan selalu berkaitan dengan tinggi rendahnya keterlibatan penghuni interior dalam peningkatan kualitas lingkungan interior.
Kata “kelelahan” dalam eko-interior menunjukkan keadaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya berakibat pada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh. Menurut Singelton (1972), pengertian kelelahan ada dua macam, yaitu: 1) kelelahan fisiologik yang disebabkan oleh faktor fisik seperti suhu udara, kelembaban udara, dan bahan kimia, 2) kelelahan psikologis yang disebabkan oleh faktor psikologi.
Berkaitan dengan kenyamanan fisiologis dalam lingkungan bangunan interior dapat diukur dengan parameter kenyamanan fisiologis melalui pengukuran tingkat kelelahan. Telah diutarakan oleh Singelton (1972), sampai saat ini belum ada cara pengukuran kenyamanan fisiologis dan psikologis yang dapat dipakai secara sempurna, tetapi beberapa ahli telah mengembangkan pendapatnya tentang beberapa parameter kenyamanan fisiologis melalui pengukuran tingkat kelelahan, yaitu dengan cara:
1) “Waktu reaksi”, yaitu reaksi sederhana atas rangsangan tunggal atau reaksi yang memerlukan koordinasi.
2) Uji “Finger-Tapping”, yaitu pengukuran kecepatan maksimal ketukan jari tangan pada ukuran waktu tertentu.
3) Uji “Fheker-fusion”, yaitu pengukuan terhadap kecepatan berkelipnya cahaya (lampu) yang secara bertahap ditingkatkan sampai pada kecepatan tertentu yang memperlihatkan cahaya nampak berbaur sebagai cahaya yang kontinyu.
4) Uji “Bourdon Wiersma”, yaitu pengujian terhadap kecepatan bereaksi dan ketelitian.
5) Pemeriksaan “Tremor” pada tangan.
6) “Skala kenyamanan fisiologis” dari Industrial Fatique Research Committe (IFRC).
Penekanan Kenyamanan fisiologis dalam eko-interior secara sederhana dapat diterapkan dalam uji kenyamanan yang dilakukan dengan (a) skala kenyamanan fisiologis IFRC, dan (b) uji finger-tapping.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Menjadikan sadar dan menajamkan kepekaan sewaktu mendesain agar selalu memperhatikan serta ikut melestarikan lingkungan secara berkelanjutan dalam menghadapi globalisasi.