Kamis, 24 November 2011

Kenyamanan Fisiologis


1.         Kenyamanan Fisiologis
Kenyamanan fisiologis biasanya berawal dari kepadatan penghuni di dalam bangunan interior dan tuntutan keperluan ruang dengan kemampuan terbatas menimbulkan permasalahan dalam eko-interior. Adanya tuntutan keperluan kualitas lingkungan interior mengakibakan terjadinya penambahan ruang  yang tidak terencana, penyelesaian akhir atau finishing interior yang kurang baik, sistem pembuangan limbah atau sanitasi yang kurang baik, sirkulasi udara terhambat, kecepatan angin berkurang, kelembaban dan suhu ruangan semakin tinggi. Kondisi ini memperlambat fase perubahan temperatur, karena temperatur udara dan kelembaban udara adalah faktor dominan yang mempengaruhi kenyamanan penghuni, maka kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap gairah kerja penghuni. Kerja dalam konteks ini, menurut Parkinson (1987) adalah mata rantai penghubung antara individu dan komunitasnya.
Gerak lancar udara (cross ventilation) mengurangi kelembaban dan suhu udara dalam ruangan. Suhu ruangan yang ideal adalah antara 200 s.d. 250 C, kelembaban udara antara 40% s.d. 50%. Gerak udara yang sedang antara 5 s.d 20 M/Detik atau volume pertukaran udara bersih antara 2- s.d. 30 CFM (Cubic Fip per Minute) untuk setiap orang yang berada di setiap ruangan (Ircham, 1992). Ukuran rasa nyaman ini bersifat subyektif, apabila ventilasi alamiah dalam ruangan kurang memenuhi syarat sehingga menyebabkan ruangan pengab (stuffiness) yang sering dipergunakan bantuan alat mekanis seperti AC yang tidak ramah lingkungan.
Kenyamanan (comfort) penghuni bangunan interior dalam melakukan segala aktivitas dinyatakan dengan ‘efisiensi kerja terganggu’, keletihan yang berlarut, timbulnya rasa malas dan depresi, tidur tidak nyenyak (Konigsberger, 1973). Faktor kenyamanan yang berpengaruh tehadap gairah kerja, selanjutnya akan selalu berkaitan dengan tinggi rendahnya keterlibatan penghuni interior dalam peningkatan kualitas lingkungan interior.
Kata “kelelahan” dalam eko-interior menunjukkan keadaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya berakibat pada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh. Menurut Singelton (1972), pengertian kelelahan ada dua macam, yaitu: 1) kelelahan fisiologik yang disebabkan oleh faktor fisik seperti suhu udara, kelembaban udara, dan bahan kimia, 2) kelelahan psikologis yang disebabkan oleh faktor psikologi.
Berkaitan dengan kenyamanan fisiologis dalam lingkungan bangunan interior dapat diukur dengan parameter kenyamanan fisiologis melalui pengukuran tingkat kelelahan. Telah diutarakan oleh Singelton (1972), sampai saat ini belum ada cara pengukuran kenyamanan fisiologis dan psikologis yang dapat dipakai secara sempurna, tetapi beberapa ahli telah mengembangkan pendapatnya tentang beberapa parameter kenyamanan fisiologis melalui pengukuran tingkat kelelahan, yaitu dengan cara:
1)          “Waktu reaksi”, yaitu reaksi sederhana atas rangsangan tunggal atau reaksi yang memerlukan koordinasi.
2)          Uji “Finger-Tapping”, yaitu pengukuran kecepatan maksimal ketukan jari tangan pada ukuran waktu tertentu.
3)          Uji “Fheker-fusion”, yaitu pengukuan terhadap kecepatan berkelipnya cahaya (lampu) yang secara bertahap ditingkatkan sampai pada kecepatan tertentu yang memperlihatkan cahaya nampak berbaur sebagai cahaya yang kontinyu.
4)          Uji “Bourdon Wiersma”, yaitu pengujian terhadap kecepatan bereaksi dan ketelitian.
5)          Pemeriksaan “Tremor” pada tangan.
6)          “Skala kenyamanan fisiologis” dari Industrial Fatique Research Committe (IFRC).
Penekanan Kenyamanan fisiologis dalam eko-interior secara sederhana dapat diterapkan dalam uji kenyamanan yang dilakukan dengan (a) skala kenyamanan fisiologis IFRC, dan (b) uji finger-tapping.

Eko Interior Penting


1.     Pentingnya Kualitas Lingkungan Interior
Telah dibuktikan oleh WHO dengan penyelidikan di seluruh dunia, adanya angka kematian (mortality), angka perbandingan orang sakit (mobidity) yang tinggi serta seringnya terjadi epidemi, ada di tempat dimana terdapat hygine dan sanitasi lingkungan inteior yang buruk (Entjang, 1981). Kualitas lingkungan interior menjadi sangat penting sebagai suatu habitat untuk hidup manusia dan organisme, berinteraksi, juga dominan dalam menentukan status kesehatan, sumber kegiatan dan tempat melangsungkan kebutuhan biologis.
Dasar filosofis yang diberikan Prof. Winslow (1920) berkaitan dengan pentingnya kualitas lingkungan interior, yaitu penghuni hanya akan sehat apabila setiap manusia ikut-serta menyehatkan dirinya sendiri serta lingkungannya. Tanpa keterlibatan penghuni, kesehatan tidak akan tercapai (Soemirat, 1996). Filosofi inilah yang mendasari pentingnya keikutsertaan penghuni dalam peningkatan kualitas lingkungan interior.
Kajian Doxiadis (1978) ada dua unsure utama yang mempengaruhi kualitas lingkungan nterior, pertama adalah  Isi (the content) yaitu penghuni baik individu maupun kelompok; kedua wadah (the container) atau lingkungan fisikal (physical settlemen). Berangkat dari dua unsur utama tadi dapat dijabarkan lagi menjadi menjadi lima elemen dalam lingkungan interior, yaitu elemen alam (nature), manusia (man), kehidupan social (society), interior sebagai tempat tinggal/kegiatan (shells) dan system jaringan (networks). Dengan demikian kualitas lingkungan interior secara fisik (physical settlement) berupa bangunan interior dengan jaringan fasilitas dan lingkungan alamnya untuk menanmpung dan memenuhi keperluan aktivitas penghuninya (fisik dan non fisik).
Bertitik-tolak dari dua unsur utama yang mendukung interior tersebut tercipta elemen yang yang memungkinkan suatu keadaan manusia untuk menyelenggarakan kehidupannya. Elemen tersebut meliputi karya, marga, ruangan, suka dan penyempurna. Kelima unsur tersebut dianggap sebagai bagian dari subsistem yang masing-masing saling berhubungan dalam ujud hubungan aksial, interaksial, dependensial mapun interdependensial. Gangguan pada salah satu unsur dalam lingkungan interior akan menyebabkan gangguan pada unsur yang lain, dan sebaliknya perbaikan pada salah satu unsur interior akan mengakibatkan membaiknya unsur interior yang lain.
Mengacu pada pengertian kualitas lingkungan sebagai derajad kemampuan lingkungan untuk untuk memenuhi keperluan dasar manusia yang hidup dalam lingkungan itu (Soemarwoto, 1978). Dengan demikian kualitas lingkungan interior adalah derajad atau peringkat kemampuan lingkungan tersebut dalam memenuhi keperluan tinggal dalam ruangan bagi penghuninya.
Derajad kemampuan lingkungan interior menurut pengertian tersebut untuk mewadahi dan memenuhi keperluan hingga dapat dipergunakan sebagai ruang tempat tinggal penghuninya. Untuk memenuhi persyaratan kualitas lingkungan interior yang baik diperlukan kesesuaiana keberadaan manusia sebagai penghuninya dan kemampuan lingkungan fisik sebagai wadah. kualitas lingkungan interior erat hubungannya dengan kesehatan. Hal ini terungkap dalam definisi kesehatan yang secara ekspansif serta tertera dalam piagam organisasi kesehatan dunia dalam bukunya Eckhlom (1981), kesehatan merupakan suatu keadaan yang menjamin adanya kesejahteraan jasmani, rohani dan social yang utuh. Dalam tautan kesehatan dalam lingkungan interior, terdapat aspek derajad kesehatan dalam suatu wilayah sangat ditentukan oleh kualitas lingkungan interiornya, baik dalam skala individual maupun komunal. Menurut Achmadi (1992) “sehat merupakan resultante hubungan interaktif antara manusia dan lingkungannya secara seimbang. Bila terjadi perubahan lingkungan akan menyebabkan gangguan keseimbangan dan akan disusul oleh perubahan tingkat kesehatan masyarakatnya”.
Kualitas bangunan interior dapat dilihat dari segi: 1) bahan bangunan serta konstruksinya, 2) denah tata letak interior. Bahan bangunan dan kontruksi menentukan suatu interior mudah rusk, mudah terbakar, lembab, panas, mudah jadi sarang serangga pembawa penyakit, bising dan lain-lain. Denah tata letak interior menentukan cukup tidaknya jumlah ruang yang tersedia terhadap jumlah penghuni serta berbagai kegiatannya. Pemanfaatan bangunan interior yang tidak sesuai dengan peruntukannya, dapat terjadi gangguan kesehatan. Pemeliharaan bangunan interior mempengaruhi kesehatan penghuni, karena fasilitas yang tersedia tidak dipelihara dengan baik akan membantu terjadinya wabah penyakit.

2.     Ketidaknyamanan Interior
      Pada awal mulanya desain interior dibuat untuk melindungi manusia dari keamanan dan pengendalian lingkungan atmosfiris. Bangunan interior dapat dianggap sebagai bentuk seksama dari pengendalian suhu (thermomeregulator). Bangunan interior dapat melindungi anasir-anasir cuaca yang tidak diharapkan seperti angin kencang dan hujan, serta secara peka dapat menyediakan lingkungan dengan beban suhu yang rendah. Berarti dengan tinggal di dalam bangunan interior, maka mintakat upaya pengendalian suhu minimum dapat tercapai dengan keadaan suhu di luar interior berada di atas atau di bawah mintakat suhu tersebut.
      Neraca energi suatu interior tergantung pada neraca energi bagian eksterior bangunan, pemanasan antropogenik yang berlangsung pada bagian interior, dan fasilitas yang memungkinkan bagian dinding bangunan untuk dapat berinteraksi antara  bagian interior dan bagian eksterior bangunan.
      Pada saat siang hari pemuatan beban bahang melalui radiasi tatasurya secara intensif berlangsung di bagian eksterior bangunan. Akibatnya bagian eksterior bangunan menjadi lebih hangat dari bagian interior akan menerima fluks energi ke arah dalam. Pada waktu malam hari, dengan iradiasi lemah dari bagian eksterior, akan terjadi fluks energi ke arah luar.
      Bila bahan dan konstruksi bangunan interior memungkinkan untuk terjadinya pertukaran energi secara mudah antara bagian interior dan eksterior maka bangunan akan berfungsi sebagai  . Keadaan sebaliknya terjadi bila pertukaran bahang terhambat dan terjadi perbedaan suhu yang besar antara bagian dalam dan bagian luar bangunan.
Pertukaran bahang dalam bangunan interior sepertinya berlangsung melalui 3 cara, yaitu:
a.       Radiasi tatasurya masuk ke dalam interior melalui jendela/bukaan atau kaca. Perolehan bahang melalui proses ini tergantung pada ukuran dan orientasi bukaan, dan keadaan alami dari radiasi tatasurya yang datang dalam arti intensitasnya, dan watak arahnya.
b.      Bahang (heat) akan masuk dan meninggalkan bangunan interior sebagai akibat adanya ventilasi seperti jendela, pintu, retakan/celah, dan bukaan lainnya akan lebih cepat bila posisi ventilasi silang (cross ventilations).
c.       Bahang (heat) akan dikonduksikan melalui bahan-bahan bangunan pembentuk interior (dinding, langit-langit, lantai, kusen dan bahan pintu, jendela dll). Aliran ini akan tergantung pada watak termis dari bahan bangunan, dan kekuatan gradien suhu lingkungan interior. Dalam proses ini watak termis yang terpenting adalah ketebalan dan konduktifitas termal bahan, dan ketebalan lapisan keliling laminer yang menambah permukaan interior bangunan.
Rancang-bangun interior di lingkungan kawasan panas dan kering, pengendalian bahangnya dilakukan dengan empat cara:
a.       Masukan radiasi tatasurya harus dikurangi sebanyak mungkin dengan membuat celah atau bukaan sekecil mungkin dalam desain interior, dan menggunakan peneduh seperti beranda, pohon perindang maupun pohon yang berfungsi barier.
b.      Saling menaungi atau meneduhi diantara bangunan pembentuk interior dengan mengatur jarak antara bangunan.
c.       Menggunakan bahan bangunan interior yang mempunyai kapasitas bahang tinggi (seperti batu bata, tanah, breksi batu apung) sehingga perolehan bahang dari luar dapat diimbangi.
d.      Apabila dimungkinkan desain interior menanggulangi atau menahan radiasi panas ke dalam ruangan dengan memperhatikan diantara atap dam langit-langit, diantara elemen dinding dan penyekat ruangan untuk diteruskan aliran radiasi panasnya dengan ventilasi silang.

Rabu, 23 November 2011

Karya Ilmiah Eko Interior

Menulis Karya Ilmiah sebanyak 4 halaman kwarto A4, dengan mengangkat tema yang berkaitan masalah pada eko interior, teori yang mendukung dan solusi desain dengan minimal 3 buku literatur yang diacu.

Etimologi

Kata ilmu dalam bahasa Arab "ilm"[3] yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu eko interior dapat berarti mengetahui masalah-masalah ekologi yang berkaitan dengan interior,  seperti Eko Desain, Eko Material, Eko Wisata, Eko Industri, Eko Efisiensi, Eko Produksi, Eko Energi dan sebagainya.

Syarat ilmiah

Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa.
Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu[4]. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
  1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
  2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
  3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
  4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
Ekologi
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834 - 1914).[1] Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling memengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Ekologi merupakan cabang ilmu yang masih relatif baru, yang baru muncul pada tahun 70-an.[2] Akan tetapi, ekologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap cabang biologinya. Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hidupnya atau lingkungannya.[2] Ekologi, biologi dan ilmu kehidupan lainnya saling melengkapi dengan zoologi dan botani yang menggambarkan hal bahwa ekologi mencoba memperkirakan, dan ekonomi energi yang menggambarkan kebanyakan rantai makanan manusia dan tingkat tropik.
Para ahli ekologi mempelajari hal berikut[2]:
  1. Perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan faktor-faktor yang menyebabkannya.
  2. Perubahan populasi atau spesies pada waktu yang berbeda dalam faktor-faktor yang menyebabkannya.
  3. Terjadi hubungan antarspesies (interaksi antarspesies) makhluk hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Kini para ekolog(orang yang mempelajari ekologi)berfokus kepada Ekowilayah bumi dan riset perubahan iklim.

Konsep Ekologi

Hubungan keterkaitan dan ketergantungan antara seluruh komponen ekosistem harus dipertahankan dalam kondisi yang stabil dan seimbang (homeostatis)[2]. Perubahan terhadap salah satu komponen akan memengaruhi komponen lainnya.[2] Homeostatis adalah kecenderungan sistem biologi untuk menahan perubahan dan selalu berada dalam keseimbangan.[1]
Ekosistem mampu memelihara dan mengatur diri sendiri seperti halnya komponen penyusunnya yaitu organisme dan populasi[1]. Dengan demikian, ekosistem dapat dianggap suatu cibernetik di alam. Namun manusia cenderung mengganggu sistem pengendalian alamiah ini[1].
ekosistem merupakan kumpulan dari bermacam-macam dari alam tersebut, contoh heewan, tumbuhan, lingkungan, dan yang terakhir manusia.
1.     Eko-Efisiensi
Efisiensi berarti menggunakan sumberdaya dengan cara yang memaksimalkan kegunaannya dan meminimalkan sumberdaya yang terbuang. Karena itu dengan meningkatkan efisiensi lebih sedikit bahan dan energi diperlukan per unit produk sehingga akan menurunkan biaya produksi per unit produk yang selanjutnya akan meningkatkan potensi keuntungan. Bersamaan dengan itu jumlah limbah per unit produk berkurang sehingga akan menurunkan potensi dampak terhadap lingkungan hidup. Karena efek ganda ini, praktik itu disebut eko-efisiensi yang mengandung arti baik efisiensi ekonomi maupun efisiensi ekologi (Schmidheiny, 1992). Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi dan ekologi dapat digabung. Keduanya tidak perlu saling bertentangan, melainkan dengan usaha yang bijaksana tujuan keduanya dapat dicapai, bahkan keduanya dapat saling bersinergi.
Efisiensi adalah sebuah konsep dasar dalam ekonomi. Efisiensi berarti menggunakan sumber daya ekonomi seefektif mungkin untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia sehingga tidak ada sumber daya yang terbuang. Sumber daya yang terbuang adalah limbah. Dari segi bisnis naiknya efisiensi mengakibatkan lebih sedikit bahan dan energi yang terbuang sehingga lebih sedikit bahan dan energi yang dibutuhkan per unit produk. Dengan ini biaya produksi turun dan potensi profit naik. Dari segi lingkungan hidup berkurangnya limbah berarti menurunnya potensi dampak terhadap lingkungan hidup. Terjadilah perpaduan antara ekonomi dan ekologi dan tidak ada konflik antara keduanya. Bahkan keduanya saling memperkuat. Dengan demikian usahawan untung dan lingkungan juga untung. Masyarakat pun untung karena lingkungan hidupnya tidak tercemar dan harga barang yang dibelinya juga turun. Business Council for Sustainable Development menyebut konsep ini eko-efisiensi. Dalam konsep ini eko mempunyai arti efisiensi eko-nomi dan efisiensi eko-logi. Eko-efisiensi juga bertujuan untuk mengeliminasi atau paling sedikit meminimumkan emisi limbah B3 ke lingkungan hidup. Dengan eko-efisiensi para usahawan mendapatkan lebih banyak dari sumber daya yang lebih sedikit. Dengan modal yang lebih kecil baik kinerja lingkungan hidupnya, maupun kinerja ekonominya naik. Tidak ada dilema antara ekonomi dan ekologi. Dilema itu adalah semu belaka. Bahkan keduanya dapat bersinergi. 
Eko-efisiensi dan ekologi industri juga mengurangi intensitas materi dan energi per unit produk dan layanan (service) yang mengurangi biaya operasi para konsumen. Dari segi ekologi efek ekologi industri ialah memperpanjang daur guna (use cycle) materi sehingga mengurangi laju deplesi sumberdaya dan pencemaran lingkungan hidup (Richard dan Frosch, 1997). Pada waktu yang sama beban limbah pada lingkungan hidup berkurang.
Karena penghematan yang dapat dibuat, eko-efisiensi dan ekologi industri makin banyak diterapkan. Berkelakuan eko-efisiensi tidak hanya didasarkan pada teknologi, melainkan juga pada kebudayaan. Karena itu haruslah pula dikembangkan pendidikan budaya hidup eko-efisien.

2.      Ekologi industri
Dalam arti luas eko-efisensi berkembang menjadi ekologi industri. Sementara eko-efisiensi bergerak pada tataran teknologi, ekonomi dan lingkungan hidup fisik, konsep ekologi industri mencakup arti lebih luas, yaitu pada tataran teknologi, ekonomi serta lingkungan hidup biogeofisik dan sosial-budaya. Konsep ini menempatkan industri dalam ekosistem antropo-biogeofisik yang terdiri atas komponen masyarakat manusia dan komponen biogeofisik. Industri merupakan sebuah mata-rantai daur materi dan arus materi yang mengalir melalui ekosistem antropo-biogeofisik tersebut. Jelaslah, ekologi industri mencakup juga aspek sosial-budaya.
Ekologi industri adalah konsep yang ingin meniru alam yang tidak mengenal limbah. Limbah adalah konsep antroposentrik. Dalam alam sisa sebuah proses bukanlah limbah, melainkan merupakan bahan baku proses lain. Misalnya, dalam fotosintesis dihasilkan O2. O2 itu sebenarnya adalah limbah fotosintesis. Makhluk aerobik menggunakan O2 dalam pernafasannya dan menghasilkan CO2 sebagai hasil samping. CO2 itu adalah limbah proses pernafasan aerobik. Limbah CO2 itu merupakan bahan baku fotosintesis tumbuhan hijau. Oksigen dan CO2 mengalami daur.
Materi lain pun mengalami daur melalui rantai makanan, misalnya bangkai dimakan oleh hewan dan jasad renik pemakan bangkai. Daur juga terjadi melalui  kombinasi proses non-hayati dan hayati. Misalnya, karbon yang terikat dalam batuan kapur terlepas ke udara oleh proses kimia-fisik pelapukan batuan kapur. CO2 yang terlepas itu diikat kembali oleh organisme terumbu karang. Bersamaan dengan daur itu mengalir pula arus energi. Dalam banyak hal daur materi dan arus energi mencakup manusia, misalnya CO2 à fotosintesis tumbuhan à O2 à pernafasan manusia à CO2 à fotosintesis. Prinsip daur materi ini digunakan dalam ekologi industri, yaitu limbah sebuah industri digunakan lagi sebagai bahan baku oleh industri lain. Limbah itu didaur-ulang (recycle).
Ekologi industri malahan melangkah lebih maju, yaitu berusaha mengguna-ulang (re-use) sebanyak-banyaknya bahan dan suku cadang dalam komoditi yang telah habis masa gunanya. Proses dimulai dengan merancang produk dengan tujuan meminimumkan baik kebutuhan bahan dan energi, maupun terbentuknya limbah. Pertama, dikembangkan peningkatan efisiensi proses produksi sehingga kebutuhan materi dan energi dapat ditekan sampai seminimum mungkin. Misalnya, dengan penggunaan katalisator yang lebih baik. Kedua, limbah proses produksi dirancang untuk sebanyak-banyaknya didaur-ulang dan/atau menjadi produk samping dan/atau bahan untuk dijual kepada industri lain. Dengan demikian limbah yang tersisa (limbah residual) sangat minimal. Kadarnya dapat sampai di bawah baku mutu limbah yang ditentukan oleh peraturan pemerintah. Dalam hal ini tidak perlu dibuat instalasi pengolah limbah.
Ketiga, rancangan produk didasarkan pada Analisis Daur Hidup (ADH) atau Life Cycle Analysis (LCA). Prinsip ADH mengharuskan industri melihat ke arah hilir dan hulu. Ke arah hilir produk yang dihasilkan haruslah pula memenuhi persyaratan ramah lingkungan, misalnya bahan kemas yang minimal dan hemat energi dalam penggunaan. Dalam rancangan produk diusahakan pula agar pada akhir masa guna produk itu sebanyak mungkin komponen produk itu dapat diguna-ulang dan didaur-ulang, baik untuk digunakan dalam pabrik sendiri dan/atau dijual kepada pabrik lain. Dengan demikian produk itu menghasilkan limbah yang minimum pada waktu masa gunanya habis. Sisa produk itu tidak banyak membebani tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.
Ke arah hulu ADH mempunyai implikasi dalam pemilihan jenis masukan bahan dan energi. Pemasok (supplier) bahan dan energi dipilih yang memenuhi syarat telah berusaha ramah lingkungan dan meminimumkan arus materi dan energi. Dengan demikian eko-efisiensi dan ekologi industri mempunyai implikasi yang luas menyebar ke hilir dan ke hulu. Barangsiapa mengabaikannya akan menghadapi risiko terisolasi dan kehilangan pasar. Jelaslah makna bahwa sebuah perusahaan adalah komponen sebuah ekosistem yang terikat dalam jaring-jaring arus energi dan materi.
Arus daur materi dan arus energi difasilitasi oleh manusia yang mengelola berbagai industri dan hanya dapat berjalan baik, jika ada kerjasama yang harmonis antara industri dan masyarakat. Industri yang tidak sesuai (fit) dalam kerjasama itu akan terpinggirkan. Implikasinya ialah bahwa kelangsungan hidup industri bukan lagi survival of the fittest dalam arti kelangsungan hidup yang terkuat (fit = kuat), melainkan kelangsungan hidup yang paling sesuai (fit = sesuai, cocok). Jadi yang dapat menjaga kelangsungan hidupnya bukanlah yang mempunyai daya saing tertinggi dan dapat menyingkirkan lawannya, melainkan yang dapat menjalin kerjasama yang serasi dengan komponen-komponen lain dalam ekosistem tersebut. Dengan demikian kerjasama dengan komponen lain, meskipun yang lebih lemah, bukan merupakan tanggungjawab sosial, bukan pula belas-kasihan atau tindakan filantropik, melainkan kebutuhan untuk membangun kesesuaian dirinya di dalam ekosistemnya demi kelangsungan hidupnya. Jadi kerjasama yang serasi antara industri dengan masyarakat sekitarnya merupakan suatu conditio sine qua non. Salah satunya ialah mengintegrasikan UKM sebagai mata-rantai dalam daur materi dan arus energi ekositem antropo-biogeofisik masyarakat-industri.
Nampaklah perbedaan yang besar antara teknologi akhir-pipa dengan teknologi eko-efisiensi dan ekologi industri. Eko-efisiensi dan ekologi industri mengurangi intensitas arus materi dan energi melalui ekositem antropo-biogeofisik dan memperpanjang daur-guna (use cycle) materi. Dengan demikian, di samping mengurangi pencemaran, juga mengurangi laju deplesi sumber daya. Penurunan laju deplesi sumber daya dan pencemaran merupakan sifat pembangunan ramah lingkungan hidup. Pembangunan ramah lingkungan membutuhkan biaya yang lebih kecil, sementara kinerja ekonominya ditingkatkan. Tujuan ini dapat dicapai dengan maksimal, jika efisiensi, guna-ulang dan daur-ulang dijadikan parameter rancangan pada waktu produk dirancang. Jika dilakukan terlambat, usaha itu akan bersifat tambal-sulam, mahal dan tidak cost effective.
Implementasinya seyogyanya dimulai dengan yang mudah, yaitu yang disebut “buah tergantung rendah” (low hanging fruits). Buah tergantung rendah mudah dipetik dan dimanfaatkan tanpa memerlukan banyak biaya dan teknologi. Pertama ialah perbaikan pengelolaan rumah tangga (better house-keeping). Contohnya ialah perbaikan administrasi keluar-masuk bahan sehingga tak ada bahan yang kadaluwarsa; penyimpanan yang baik agar bahan tak rusak; penanganan bahan dengan  baik (better handling) agar tak berceceran; memperbaiki kran air yang bocor; mematikan lampu dalam ruangan yang tak digunakan; mengatur AC agar tak terlalu dingin dan mematikannya di ruangan yang tidak digunakan. Contoh lain ialah melakukan audit air, kertas dan energi dan menggunakan hasilnya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air, kertas dan energi di dalam kantor, operasi pabrik dan transpor. Misalnya, menggunakan kertas di kedua belah sisinya, mengguna-ulang kertas untuk pembuatan konsep dan mengguna-ulang amplop untuk korespondensi intern; menampung air hujan dengan talang dan menyimpannya dalam bak untuk memenuhi keperluan sehari-hari, seperti di kamar mandi dan menyiram taman. Memang efek individual masing-masing usaha adalah kecil, namun pepatah mengatakan sedikit-sedikit menjadi bukit. Pengelolaan rumah tangga yang baik juga akan meningkatkan kenikmatan lingkungan hidup tempat kerja. Efek selanjutnya ialah meningkatkan kinerja para karyawan.
Contoh yang membutuhkan investasi kecil ialah penanaman pohon di halaman yang akan mengurangi kesilauan dan menurunkan suhu karena efek peneduhan dan evapotranspirasi. Investasi yang agak tinggi dapat digunakan untuk memasang alat fotovoltaik sebagai pembangkit listrik di atap gedung-gedung. Di tempat yang banyak anginnya dapat dibangun kincir angin untuk keperluan yang sama. Sumber energi fotovoltaik dan angin bersifat terperbarukan dan disediakan dengan gratis oleh alam. Biaya operasinya hanyalah perawatan alat-alat itu. Jelaslah, banyak sekali kesempatan untuk mengimplementasikan ISO-14001 tanpa harus menggunakan modal besar.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimum semua karyawan seyogyanya mengetahui dan menyadari arti ISO 14001. ISO 14001 memang sangat mementingkan komunikasi, pendidikan dan latihan sehingga masing-masing karyawan mengetahui peranan apa yang harus dilakukannya untuk mensuksekan ISO 14001.       

    Jumat, 18 November 2011

    Sampah, Limbah dan Pengelolaanya


            Daur Ulang dan Pengelolaan Sampah
    Daur ulang kadang-kadang dicampuradukkan dengan pakai ulang; padahal keduanya berbeda. Pada daur ulang (recycling, recycle) sesuatu barang yang sudah dipakai dipakai lagi. Untuk keperluan itu biasanya dimanfaatkan untuk keperluan lain baik langsung dari barang itu sendiri atau barang itu dijadikan  bahan baku untuk keperluan karya desain  interior yang lain.
    Pada daur ulang ini sesuatu dimanfaatkan untuk keperluan dan maksud lain yang berbeda dari peruntukannya yang semula. Sebaliknya pada istilah pakai ulang, dimana betul-betul benda itu dipakai lagi berulang-ulang sesuai dengan peruntukannya semula.
    Menurut pengertian sehari-hari sampah adalah sesuatu yang tidak berguna lagi, dibuang oleh pemilik atau pemakai semula. Menurut pemahaman Hukum Thermodinamika II atau hukum Entropi, sampah adalah sisa energi yang tidak terpakai pada suatu proses perubahan pemakaian suatu bentuk energi lainnya. Jadi sampah masih mengandung energi, atau dayaguna yang dapat dipergunakan untuk proses produksi karya-seni.

    2.      Pengelolaan Limbah
    Limbah merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia, khususnya dalam mengahsilkan suatu karya-seni atau karya desain. Limbah umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu limbah yang berbentuk cair, padat dan limbah berupa gas. Apabila jumlah limbah sudah di atas Nilai Ambang Batas yang diperkenankan, maka akan mempunyai dampak yang merugikan dan membahayakan manusia dan lingkungan. Besar tidaknya dampak limbah tergantung dari sifat dan jumlah limbah, serta daya dukung atau kepekaan lingkungan yang menerimanya. Masalah yang sering timbul dalam penanganan limbah adalah masalah teknologi dan biaya operasi yang tinggi. Namun demikian, bukan merupakan hal yang mustahil apabila limbah di tangan Desain Interior dan disainer dengan sentuhan estetis dapat didaur ulang atau dimanfaatkan menjadi produk karya-seni dan karya desain yang sama mutu dan daya saingnya sekaligus sejalan dengan upaya pengendalian pencemaran lingkungan..
    Kualitas limbah menunjukkan spesifikasi limbah yang diukur dari kandungan pencemar dalam limbah. Menurut Gintings P. (1992) kandungan pencemar dalam limbah terdiri dari berbagai parameter. Semakin sedikit parameter dan semakin kecil konsentrasi, menunjukkan peluang pencemar terhadap lingkungan semakin kecil
    Cleaner art work production policy, merupakan upaya preventif perlindungan lingkungan dalam suatu proses produksi Desain Interior. Bagaimana produksi karya desain  interior atau suatu karya desain dihasilkan tentu dapat berdampak positif dan negatif tidak hanya memikirkan daya dukung?. Bagaimana kemampuan tindakan nyata dalam memproduksi karya desain  interior untuk menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan?. Sebagai acuan informasi, bila ditinjau dari proses produksi berarti konservasi bahan baku dan energi menghindari pemakaian bahan beracun dan menurunkan kualitas limbah serta toksisitas limbah dan energi sebelum limbah tersebut keluar dari proses produksi. Ditinjau dari sisi produk karya-seni dan produk karya desain berarti mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh produk itu secara keseluruhan sejak dari pengambilan bahan baku sampai pada pembuangan akhir. Waste minimation techniques, dalam produk Desain Interior sepertinya perlu disimak mengenai: a) perubahan bahan baku (subtitusi);    b) perubahan  teknologi;    c) pelaksanaan   manajemen   (house  keeping);   d) pemanfaatan kembali limbah yang terbentuk (recycling); e) perubahan produksi; f) pemanfaatan limbah.

    3.      Biokonversi Limbah
    Salah satu cara penanganan limbah padat yang sekaligus memanfaatkannya menjadi sumber energi atau bahan lainnya yang mempunyai nilai tambah adalah pengolahan biokonversi limbah padat. Menurut Murtadho (1988) yang dimaksud biokonversi adalah suatu proses mengkonversi atau mengubah bahan organik yang memiliki rumus kimia yang kompleks menjadi bahan organik yang lebih sederhana, akan tetapi lebih berguna dan memiliki nilai tambah dengan memanfaatkan peristiwa biologis dari mikrobiologi atau enzim. Metoda ini  lebih efisien dan efektif dalam mengkonversi suatu bahan.